Pixabay.Pic
Oleh : Demitrius Halek, S. Fil
(Penulis Merupakan Seorang Pendidik di SMP Il Kapten Fatubaa)
ABSTRAKSI
Kekerasan struktural yang terjadi di Indonesia memiliki bentuk yang bermacam-macam. Dimulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kekerasan beragama. Kekerasan beragama di Indonesia tidak terlepas dari intoleransi beragama yang meningkat belakangan tahun terakhir ini. Apalagi setelah terjadinya Pilkada Jakarta pada tahun 2014. Setelah momen mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahya Purnama dipidana dalam kasus penodaan agama yang kebetulan berasal dari kelompok minoritas. Fenomena kekerasan struktural pemerintah dalam kekerasan beragama dapat dilihat dari beberapa kasus yang memperlihatkan adanya ketidakhadiran negara dalam mendinginkan suatu konflik atau mencegah adanya situasi konflik. Kondisi ini menunjukkan bahwa di rezim demokrasi pun masih ada kekerasan struktural melalui tindakan pemerintah yang membiarkan atau malah melegitimasi kekerasan struktural. Padahal sudah jelas didalam sila kedua Pancasila dan Pasal 29 ayat (2) 1945 menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agama masing-masing.
Kata Kunci: Kekerasan, Struktural, Politik
PENDAHULUAN
Saat ini kekerasan di Indonesia mulai berubah menjadi kekerasan struktural dan intoleransi beragama. Padahal sudah jelas di dalam sila kedua Pancasila dan Pasal 29 ayat (2) 1945 menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing.” Jaminan konstitusional tersebut diperkuat dengan Pasal 28 E Ayat (1 & 2) , UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Kondisi politik yang memanas turut melambungkan tingkat intoleransi beragama di Indonesia. Beberapa kasus yang sempat disorot media diantaranya penyerangan Gereja di St. Lidwina di Yogyakarta, penyerangan, perusakan, dan pengusiran penganut Ahmadiyah di Lombok Timur, perusakan dua wihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai, dan masih banyak lagi kasus lainnya.
PEMBAHASAN
Gandhi dalam pemikiran politiknya tentang Satyagraha memiliki pandangan bahwa dalam bernegara baiknya melihat manusia sebagai manusia yang memiliki percikan Tuhan dalam setiap orang. Sehingga, serendah apapun orang itu harus dipandang dan diperlakukan secara manusiawi. Dalam menyelesaikan konflik Gandhi memiliki beberapa dasar yang harus dilakukkan dalam Satyagraha. Pertama, setiap orang harus memasuki diskusi dalam keadaan pikiran terbuka dan kerendahan hati karena tidak ada kebenaran mutlak. Kedua, setiap orang harus mengurangi egonya dan mencoba saling memahami . Ketiga, untuk menghadirkan dialog yang rasional dan objektif selayaknya masing-masing tidak boleh berprasangka terlebih dahulu dan membenci satu sama lain.
Pembiaran dan legitimasi yang diberikan dapat memberikan dampak buruk bagi kelompok minoritas. Kekerasan struktural mulai berubah menjadi kekerasan langsung seperti contoh Ahmadiyah. Yang seharusnya negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya justru malah berbalik merugikan warga negaranya. Jemaah Ahmadiyah berstatus resmi warga negara. Sebagai warga negara, mereka wajib membayar pajak, mematuhi hukum, mengikuti anjuran pemerintah. Mereka tidak boleh menghadapi kekerasan dengan kekerasan, dan mesti menyerahkannya kepada hukum yang berlaku.
Namun kepatuhan dan ketaatan itu tidak selalu diganjar dengan tindakan nyata negara untuk melindungi hak-hak mereka. Dengan alasan keadaan darurat atau untuk mengantisipasi reaksi keras lanjutan dari kelompok yang mengaku diri mayoritas, negara cenderung membiarkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Negara sering menerapkan kebijakan utilitaristis. Kebijakan pemerintah sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip yang dianut oleh Gandhi serta pandangan politiknya. Pandangan Gandhi berazaskan Satyagraha dan Ahimsa yang menekankan adanya dialog dan saling menghormati dan menghargai sesama manusia yang sebagian dirinya merupakan percikan Tuhan. Maka dari itu, diperlukannya kembali nilai-nilai ketimuran yang sudah ada dalam tubuh Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Ketika nilai-nilai ini kembali ditegakkan, Gandhi pun ikut bersuara bersama pendiri-pendiri bangsa untuk membela semua pihak untuk kebaikan bersama.
KESIMPULAN
Pemerintah dapat menjadi pelaku kekerasan struktural karena memiliki kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi hidup orang banyak. Menurut Galtung, sengaja atau tidak sengaja apabila menghasilkan kekerasan struktural itu berarti sama saja melakukan kekerasan karena dilihat dari sudut pandang korbannya. Kekerasan struktural yang bertransformasi menjadi kekerasan langsungpun tak dapat di hindarkan. Masih ada lagi kasus Tanjung Balai, penyerangan Gereja, terorisme, dan berbagai kasus lainnya. Semuanya memerlukan kehadiran pemerintah di tengah-tengah masyarakat. Tetapi apa yang dilakukan pemerintah justru melanggengkan kekerasan dan mengeluarkan kebijakan yang tidak solutif. Karena tertutup dan tidak membuka kesempatan dialog, sehingga hanya mendewakan kebenaran persepsinya.
Menilik pada sejarah, pada zaman kolonialisme dahulu ada sosok yang pemikiran dan ide-idenya tidak lekang oleh zaman dapat membantu merubah sudut pandang atau menangani masalah tersebut. Adalah seorang Mahatma yang berjiwa besar bernama Gandhi. Pemikirannnya yang orisinil dan jujur berhasil menarik perhatian dunia dan membebaskan negaranya dari penjajahan tanpa melakukan peperangan. Indonesia dapat belajar dari Gandhi tentang bagaimana membangun sebuah bangsa yang tidak hanya berdasarkan hasrat untuk merdeka. Tetapi juga membangkitkan nilai-nilai yang tertanam dan membangung kepercayaan diri bangsa serta nasionalisme ketimuran yang mempunyai sifat religius dan anti kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Alappatt, Francis, Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi, Bandung: Nusamedia, 2005.
Fischer, Louis, Gandhi Penghidupan dan Pesannya untuk Dunia, Jakarta: P.T. Pembangunan, 1967.
Gandhi, M, K., The Collected Works of Mahatma Gandhi, New Delhi: Divisi Publikasi Pemerintah India, 1958.
Merton, Thomas, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, Jakarta: Obor, 1990.
Metha, Vad, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Suryajaya, Martin, Sejarah Pemikiran Politik Klasik: dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M, Serpong: Marjin Kiri, 2016.
Sudibyo, Agus, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, Serpong: Marjin Kiri, 2019.
Windhu, Marsana, Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
JURNAL
Warih Anjari,"Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence)", E-Journal WIDYA Yustisia Volume 1 Nomor 1, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar